UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM NOVEL AMELIA
KARYA TERE LIYE
Diajukan untuk
memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia
Guru : Usriah Hidayati, S.Pd.
OLEH:
AZIZAH NUZULUL ROHMAH
08
10243
8A
SMP NEGERI 1 SOKARAJA
Tahun Pelajaran 2014/2015
---
A. IDENTIFIKASI NOVEL AMELIA
- Judul : Amelia
- Pengarang : Tere Liye
- Jumlah
halaman : 391 halaman
- Penerbit :
Republika
- Tahun
Terbit : 2013
- Kota
Terbit : Jakarta
B. Unsur-Unsur Intrinsik Novel Amelia
1. Tema
Tema
dalam novel ini yaitu pendidikan seseorang
anak dapat diperoleh di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
2. Alur (Plot)
Alur
atau plot yang terdapat dalam novel ini adalah alur maju
Tahapan alur dalam novel Amelia, sebagai berikut:
a.
Pengantar (pengenalan tokoh,
latar cerita)
Halo semua, kenalkan, namaku Amelia.
Di sekolah aku selalu dipanggil ‘Amel’. Di tempat belajar
mengaji Nek Kiba, di sungai, di balai kampung, teman-teman bermain dan bahkan
semua orang memanggilku ‘Amel’. Juga di rumah. Tapi, dalam situasi tertentu,
kadang aku dipanggil dengan nama lengkap, ‘Amelia’. (hlm. 1)
Aku dan keluargaku tinggal di perkampungan yang indah.
Persis di Lembah Bukit Barisan. Dilingkari oleh hutan lebat di bagian atasnya.
Lereng-lereng yang berkabut saat pagi, bagai melihat kapas sejauh mata memandang.
(hlm. 2)
b.
Penampilan masalah
Bapak tersenyum. Mendekat, duduk di sebelahku.
Kalian tahu, satu hal yang selalu aku suka dari Bapak
adalah jika ia bilang menemani, maka
ia akan benar-benar menemani-ku. Ikut
duduk menatap perkampungan tidak bicara sama sekali.
. . .
“Amel benci jadi anak bungsu.” Itu kalimat pertama yang
keluar dari mulutku. Membuka percakapan setelah lengang lima belas menit. Sibuk
dengan pikiran masing-masing.
Bapak menoleh
“Amel benci jadi anak bungsu!!”” kali ini suaraku lebih
ketus. (hlm. 21-22)
Awalnya, kalimatku masih patah-patah, tapi semakin lama
semakin lancar. Dengan suara lantang, aku mengusulkan agar penduduk kampung
membahas tentang kemungkinan mengganti seluruh batang kopi di ladang dengan
bibit yang lebih berkualitas agar tidak ada lagi ladang yang gagal panen, tidak
produktif. Itu bisa menjadi jalan keluar agar kehidupan kami lebih baik, tidak
hanya mengandalkan cara-cara lama.
. . .
“Tapi itu tidak akan mudah.” Mang Dullah yang pertama
kali mengeluarkan komentar atas rencanaku. “Yang pertama, bagaimana dengan
bibit kopi labih baik yang au maksud itu, Amel? Harganya tentu mahal di Kota
Kabupaten. Membeli ribuan batang kopi itu tidak sedikit biayanya.” (hlm. 298)
c.
Puncak masalah
Nah, inilah masalah paling serius
antara aku dan Kak Eli. Soal mencuci sepatu.
. . .
Kak Eli melangkah cepat ke ruang tengah, tempat Mamak
sedang menganyam rotan ditemani Bapak yang membaca sambil menyeruput kopi
luwak. Di luar gerimis kembali turun menyiram perkampungan. Udara terasa dingin
“Siapa yang merusak sikat gigi Kak Eli?” suara melengking
Kak Eli terdengar galak. (hlm 47-52)
“Tidak akan banyak yang setuju, Bujuk. Penduduk tidak mau
disuruh begitu saja mengganti batang kopi, itu amat berisiko. Dan menggunakan
kas kampung? Uang itu dikumpulkan bertahun-tahun untuk keperluan darurat
seperti bencana alam, musibah, bukan untuk mencoba hal baru.” Salah satu
anggota pertemuan tetap keberatan. (hlm. 301-302)
d.
Ketegangan menurun
Sore itu, Kak Eli memutuskan menggendongku pulang. Ia
mengambil solusi yang paling tidak mungkin. Susah payah ia memposisikanku di
punggungnya. Terhuyung ia berdiri.
“Berpegangan yang kuat, Amel.” Kak Eli berkata pelan.
. . .
Aku sekarang bisa melihat nasihat Bapak. Dengan memeluk
Kak Eli di belakang, di gendong di punggung, aku bisa merasakan sedekat itu
bukti kasih sayangnya. Kak Eli tidak pernah membenciku. Ia tidak pernah
mengomeliku, memarahiku, meyuruh-nyuruhku karena takut kepada Mamak. Ia
melakukan semua itu karena sedang mengajariku. Kak Eli menyayangiku. Aku terisak.
(hlm.73-74)
“Dalam agama kita, Hasan, berbuat adil sangat penting.
Aku sendiri yang mengajari kau mengaji ketika kau masih kanak-kanak macam Amel.
Berbuat adil adalah segalanya. Apa pu.” Suara Nek Kiba terdengar lantang.
Rambut berubannya terlihat dari balik tudung kepala. “Bahkan, agama ini
memerintahkan agar kita tetap berbuat adil kepada musuh sekalipun. Sungguh,
jangankan kebencian kita kepada seseorang atau kepada sebuah kaum, membuat kita
tidak adi. Kemakmuran diangkat dari sebuah negeri, pertolongan ditahan di atas
sebuah negeri, ketika orang-orang di dalamnya enggan berbuat adil. Kau dengar
itu, hah?”
Ruangan besar itu terdiam. Juga Bakwo Hasan dan tiga tetangga lain. Wajah mereka merah padam. Tapi
mereka terdiam, tidak ada yang berani menjawab kalimat tegas Nek Kiba. (hlm.
385)
e.
Penyelesaian
“Maafkan, Amel, Kak.”
Aku tidak tahan lagi. Suaraku pelan saja. Bahkan kalah
oleh desau angin.
“Maafkan apa, Amel?” Kak Eli bertanya. Napasnya
tersengal.
“Maafkan Amel yang selama ini tak menurut.” Suaraku serak.
“Kau bicara apa Amel?” Langkah kaki Kak Eli terhenti.
Kak Eli berhenti di jalan setapak dengan aku memeluk
erat-erat dari punggungnya.
“Maafkan Amel yang susah diatur. Maafkan Amel yang
kemaren menggunakan sikat gigi Kak Eli untuk menyikat sepatu sekolah. Amel
sungguh menyesal. Maafkan Amel, Kak.” Aku benar-benar menangis sekarang.
Terisak di punggung Kak Eli.
. . .
“Seharusnya aku yang meminta maaf, Amel.” Kak Eli
akhirnya berkata pelan. Suaranya bergetar. (hlm. 75)
Dengan keputusan itu, beberapa minggu kemudian, penduduk
kampung bergotong-royong menebang batang kopi tidak berbuah di ladang itu. Juga
minggu-minggu berikutnya, kami bekerja bersama-sama hingga poly bag berhasil di tanam di dalam lubang-lubang. Berbaris rapi
sesuai jarak yang disarankan Paman Unus.
. . .
Tidak ada korban jiwa. Juga tidak ada rumah panggung di
kampung yang rusak. Tapi ladang kopi tempat dua ribu bibit kopi terbaik itu
berada tidak jauh dari tepi sungai. Bersama ladang-ladang lain, hancur lebur
dihantam air bah. Batang kopinya tercerabut, rebah jimpah. Pagar ladangnya
tidak bersisa sedikit pun. Saat banjir mulai surut, tidak ada lagi yang tersisa
di ladang selain lumpur di mana-mana. (hlm. 386-387)
3. Latar (Setting)
Novel Amelia mengambil latar tempat
di Lembah Bukit Barisan, hutan yang mengelilingi
perkampungan dengan latar waktu pagi, siang, dan malam hari, latar sosial yaitu keluarga
sederhana, latar suasana yaitu perkampungan yang indah nan asri.
a.
Latar tempat
Aku dan keluargaku tinggal di perkampungan yang indah.
Persis di Lembah Bukit Barisan. (hlm. 2)
b.
Latar waktu
“Susah sekali menyuruh kalian
bangun sepagi ini, hah. Sana bergegas ambil wudhu, shalat shubuh. . . .” (hlm.
6)
Kejadian sepanjang siang di rumah ternyata menjadi
masalah besar sore harinya. (hlm.19)
Malam datang membungkus perkampungan. Hujan deras
akhirnya turun. Jalanan depan rumah sepi. (hlm. 20)
Zaman itu, semua rumah kampung menggunakan tungku kayu
bakar, tidak ada kompor minyak tanah. Kayu bakar itu ditumpuk rapi di
penyimpanan sementara, di bawah pondok kecil belakang rumah, agar tetap kering
dan siap digunakan setiap saat. (hlm. 45)
c.
Latar sosial
“Tahun ini panen kopi kita lebih banyak dibanding
perkiraan.” Bapak yang pertama kali membuka suara. (hlm. 199)
Tentu seharusnya aku tahu. Keluarga kami sederhana. Bapak
mendidik kami sejak kecil dengan semua keterbatasan.
. . .
(hlm 25)
d.
Latar Suasana
Aku dan keluargaku tinggal di perkampungan yang indah.
Persis di Lembah Bukit Barisan.
Dilingkari oleh hutan lebat dibagian atasnya. Lereng-lereng yang berkabut saat
pagi, bagai melihat kapas sejauh mata memandang. Dibawahnya dibatasi oleh
sungai besar berair jernih.
. . .
(hlm 2)
4. Tokoh dan Penokohan
Tokoh
dan penokohan yang ada di dalam novel Amelia adalah sebagai berikut.
a. Bapak
1)
Rajin membaca
Kak Eli melangkah cepat ke ruang tengah, tempat Mamak
sedang menganyam rotan ditemani Bapak yang membaca sambil menyeruput kopi
luwak. (hlm. 52)
2)
Demokratis
Bapak membagi tugas. Orang-orang dewasa yang membantu
dijadikan enam kelompok, menuju tempat masing-masing. Anak-anak ikut dalam
rombongan tersebut, bebas memilih. Aku membawa keranjang rotan milikku,
memutuskan mengikuti rombongan Paman Unus. (hlm. 190)
b. Mamak
1)
Cekatan
Mamak sibuk bekerja berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain, kadang di depan tungku, kadang di meja, memperbaiki tudung rambut,
menyeka keringat, mengerjakan dua-tiga hal dalam waktu bersamaan. Aku berusaha
gesit mengimbangi. (hlm. 61)
Mamak itu selalu gesit ketika bekerja. Wak Yati pernah
berbisik kepadaku, “Kau tahu Amel,
sebagian Ibu-ibu itu hanya lincah mulutnya, lincah bergunjing. Tapi Mamak kau,
sebaliknya, tangannya yang lebih lincah bekerja. Semua dikerjakan dengan cepat,
teliti, tanpa kesalahan.” Aku manggut-manggut. (hlm. 186)
2)
Suka berbagi
“Mamak mengirim rebung, Wak.” Aku mengangkat kanton
plastik.
“Goed, ini
terlihat segar sekali, Amel. Akan lezat jika disayur.” Wak Yati memeriksa isi
kantong. “Mamak kau itu selalu rajin mengirimi makanan kepada sanak dan
tetangga.” (hlm. 260)
c. Eliana
1)
Rajin membantu
Kak Eli sedang menganyam di ruang tengah bersama Mamak,
sambil mengobrol. (hlm. 20)
2)
Tegas
“Nanti-nanti saja Kak.” Kak
Pukat yang menjawab sekarang. Terlihat sekali mereka bergegas, bahkan tidak
sempat menyambar topi anyaman.
“HEI!” Suara Kak Eli terdengar galak,”Kerjakan sekarang!”
(hlm. 12)
“Baik. Sekarang, kau segera makan siang, Amel. Lantas
shalat. Mamak akan lebih marah lagi kalau tahu kau terlambat makan dan shalat.
Kakak akan mencari dua sigung itu di kolam belakang sekolah. Sudah sesiang ini
mereka tidak pulang-pulang juga. Main kelamaan, sengaja benar mencari-cari
masalah. (hlm. 15-16)
“Bantu Kakak, Amel.” Kak Eli mengancam.
Aku menelan ludah, berhitung dengan situasi. Kalau aku
menolak, dengan kejadian aku pergi memetik jamur tanpa pamit tadi, Kak Eli bisa
mencubit perutku. (hlm. 45)
3)
Bertanggung jawab
“Kau tahu sendiri, dua sigung nakal itu kabur, Amel.
Entah kemana mereka. Tidak akan ada yang mengerjakannya.” Kak Eli memotong.
“Lagi pula, semua pekerjaan yang ada di rumah itu tugas kita semua, Bapak dan
Mamak sibuk di ladang. Kau bantu memindahkan kayu bakar ini bukan berarti kau
membantuku, itu sama dengan kau membantu Mamak. Mengurangi pekerjaan dan beban
pikirannya.” (hlm. 44-45)
4)
Pelindung
Tiba-tiba Kak Eli sudah berdiri di depan dua pelayan itu,
berteriak kencang, “JANGAN HINA ADIKKU!” Kak Eli yang berseru membelaku.
“ADIKKU TIDAK KAMPUNGAN!” Lantas meraih tubuhku agar berdiri. Memeluk tubuhku,
menghibur, bilang, “Jangan sedih, Amel.
Kakak tidak akan membiarkan kau dihina siapa pun.” (hlm. 59)
Dengan suara tegas, mata yang amat cemerlang-tatapan yang
akan kuingat hingga kapan pun, Kak Eli merengkuh badanku sambil berkata, “Kau
adikku, aku tidak akan pernah meninggalkan kau, Amel.”
Kak Eli memelukku, menenangkan, “Bukan karena Mamak akan
marah karena aku tidak menjaga kau. Tetapi karena kau adalah adik perempuanku.
Aku tidak akan pernah meninggalkan kau, Amel.” (hlm. 73)
d. Pukat
1)
Cerdas
Padahal, seluruh sekolah juga tahu kalau Kak Pukat paling
pintar. Pak Bin, guru kami di sekolah berkali-kali membanggakan betapa
pintarnya Kak Pukat. (hlm. 3)
Kami menoleh ke arah Kak Pukat. Aku menghembuskan napas
pelan. Aduh, kenapa Kak Pukat lagi-lagi
harus memotong kalimat Nek Kiba dengan mengacungkan jari?
“Tetapi Nek, bukankah kami memang disuruh ikut saja
orangtua saat shalat dan puasa? Mencontoh saja.” Kak Pukat bertanya serius.
(hlm. 323)
2)
Kreatif
Hanya si jenius, Kak Pukat, yang membuat sendiri perahu
otok-otok-nya dengan mengambil kaleng sarden, kaleng kopi, kaleng apa saja
milik Mamak-yang kadang jadi masalah. (hlm. 12)
3)
Suka mengolok-olok
“Ide bagus Burlian,” Kak Pukat tidak kalah galak,
menyikut Kak Burlian. “Kalau kita berhasil menyiramnya basah kuyup, itu berarti
sama dengan kita berhasil menyiram Candi Borobudur.”
“Eh, Candi Borobudur, Kak?” Kak Burlian menoleh.
“Iya, kan? Kau sendiri yang bilang, si bungsu ini seperti
keajaiban dunia ke delapan karena bangun lebih cepat dibanding siapa pun. Jadi
kita seperti menyiram Candi Borobudur.”
“Oh?!” Burlian mengangguk-angguk paham. “Kak Pukat memang
selalu jenius.” (hlm. 63-64)
e. Burlian
1)
Keras kepala
Anehnya, ia tidak pernah kapok. Entahlah, kalau menurut
Bapak, Kak Burlian itu memang spesial soal keras kepala. (hlm. 3)
2)
Suka mengolok-olok
Hal lain yang juga tidak kusukai dari Kak Burlian adalah
ia sering mengolok-olokku tentang ‘menunggu
rumah’. (hlm. 4)
f. Amelia
1)
Selalu memikirkan hal-hal penting
“Sudah demikian sifatnya. Sekali dia merasa sesuatu itu
penting, maka dia tidak akan pernah berhenti memikirkannya, Pak Bin. Kau pasti
mengenal perangainya.” Bapak mengusap wajahnya. (hlm. 298)
2)
Peduli sesama
Aku memasukkan tas ke laci meja, memperhatikan Maya yang
telaten menyapu lantai.
“Mau kubantu, May?” Aku menawarkan bantuan. (hlm. 31)
“Kau mau bilang sesuatu, Amel?” Paman Unus tersenyum.
“Eh,” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Bagaimana,
bagaimana caranya agar penduduk kampung mau mengganti seluruh ladangnya dengan
bibit yang lebih baik, Paman?”
. . .
“Karena kau memiliki hati Mamakmu, Nak. Kau selalu
peduli. Kau selalu ingin orang lain menjadi lebih baik. Itu anugerah Tuhan yang
hebat, Amel. Hati yang kuat dan teguh. (hlm. 193-195)
“Kau bisa meminjam bukuku, Norris.” Kataku. (hlm. 89)
“Tidak akan mudah. Tapi jika berhasil, kau akan membuat
perubahan terbesar sejak leluhur kita di lembah ini. Peduli adalah energi
kebaikan yang penting. Berlimpah ruah kepedulian itu di hati kau. Sungguh teguh
hati kau, Amel.” (hlm. 303)
3)
Rajin membaca
“Apa yang kau lakukan, hah?” Kak Eli sudah berdiri di
belakangku, di teras depan rumah panggung.
Aku menelan ludah, mengangkat buku, “Lagi baca, Kak.”
. . .
“Maksud Kakak, ini sudah pukul dua belas lebih, Amel! Apa
yang kau lakukan? Kau hanya membaca saja sejak tadi pagi, hah? Lihat, lantai
belum kau pel sama sekali. (hlm. 15)
“Bahkan Kakak berjanji, setiap pulang, setiap pulang akan
membawakan Amel majalah bekas dari Kota Kabupaten.”
“Sungguh?” Mataku membulat.
“Sungguh.” Kak Eli mengangguk mantap. (hlm. 240)
4)
Rajin
makan malam siap. Mamak memasak menu cepat, udang goreng
tepung dan sayur jamur santan. Aku gesit menyusun piring di atas meja.
Meletakkan mangkok sayur yang mengepul. Mamak bahkan tersenyum melihatku yang
bergerak semangat. (hlm. 50)
5)
Bertanggung jawab
“Amelia, benar
kau yang merusak sikat gigi Kak Eli?” Bapak memastikan.
“Iya, Pak.” Aku menjawab terbata-Bapak telah menyebut
namaku lengkap. (hlm. 55)
g. Wak Yati
1)
Tidak pelit ilmu
“Amel tidak mengerti bahasanya, Wak.”
Wak Yati tertawa melihat wajah bingungku.
“Tentu saja, natuurlijk,
Amel. Hampir seluruh buku ini berbahasa Belanda. Tapi jangan khawatir,
sebentar.”
Wak yati memeriksa tumpukan buku di atas lantai papan.
Menarik salah satunya. Menyerahkannya kepadaku.
“Nah, ini
catatan perjalanan Wawak saat ke tanah Malaka. Wawak tulis dengan bahasa
campur. Ada bahasa Indonesianya. Juga ada beberapa foto yang bisa kau lihat.”
(hlm. 261)
h. Paman Unus
1)
Cerdas
“Tidak ada hubungannya dengan nasib baik, Pendi.” Paman
Unus tertawa, menepuk bahu Juha. “Itu dilakukan agar cahaya matahari bisa
diatur sedemikian rupa menimpa bibit kopi. Kita harus berhitung dengan
kelembapan bibit. Selain arah mata angin, kita juga harus menentukan kapan
saatnya menyemai bibit. Kabar baiknya, jika perhitunganku benar, minggu-minggu
ini waktu yang baik. Bertani memerlukan ilmu pengetahuan yang mendalam, Pendi,
tidak sekadar mampu bekerja keras. Meskipun harus kuakui, tanpa bantuan kalian,
pekerjaan ini tidak akan semaju ini.” (hlm. 317)
2)
Tidak pelit ilmu
“Setiap perubahan membutuhkan proses panjang, Maya.”
Paman Unus yang sedang mengajari Juha dan Pendi tentang merawat ladang kopi,
menghentikan kegiatannya. Mencoba membesarkan hati kami. (hlm. 357)
3)
Bijaksana
“Itu benar. Lantas kenapa, Tambusai? Apakah dia berarti
merobek seluruh usaha ini. Coba kau lihat, dua ribu batang kopi kita masih
tumbuh dengan subur. Puluhan bahkan ratusan penduduk yang kalian temui sudah
mendukung. Itu hanya masalah kertas.”
. . .
“Kalian berempat berada di gerbang terdepan proses
perubahan. Puluhan tahun petani lembah ini hanya menggunakan cara-cara bertani
yang diwariskan begitu saja. Usia pohon kopi di ladang orangtua kalian lebih
tua dibandingkan usia kalian, bukti lamanya mereka terbiasa dan nyaman. Maka
tidak ada yang bilang akan mudah membujuk mereka berubah. Kita tidak akan
berhenti hanya karena kertas-kertas kita disobek. Kita akan buat lebih banyak
lagi kertas-kertas itu, apa susahnya. Kalian tahu, banyak orang yang bicara
tentang hal-hal hebat, tapi tidak pernah kongkret. Maka jangan berkecil hati,
Maya. Kita harus saling menguatkan satu sama lain. Kau mendengarku, Maya?”
(hlm. 358)
4)
Inspirator
Kalau tidak ada Paman Unus kalian itu, maka banyak sekali
hal-hal seru yang kalian alami tidak akan pernah terjadi. Dia banyak memberikan
inspirasi bagi orang-orang di sekitarnya, terutama anak-anak.” (hlm. 364)
i.
Nek Kiba
1)
Bijak
“Karena kalian masih anak-anak.” Nek Kiba menjawab
takzim. “Maka kalian boleh mencontoh. Tapi dengan bertambahnya usia kalian,
hukum menuntut ilmu itu jatuh pada kalian. Tidak ada alasan lagi. Beruntunglah
yang sejak kecil sudah rajin membaca buku, sudah gemar mendengar nasihat dari
orang-orang berilmu, maka dia mengerti lebih awal penjelasannya. Semoga itu
akan terbawa hingga dewasa. Paham?” (hlm. 323)
2)
Tidak pamrih
Menurutku, Nek Kiba adalah guru mengaji terbaik sedunia.
Berpuluh-puluh tahun mengajar mengaji, tidak serupiah pun meminta bayaran.
(hlm. 219)
j.
Pak Bin
1)
Inovatif
Pak Bin bukan guru PNS. Ia terlalu jujur untuk lulus tes.
Tapi Pak Bin adalah guru terbaik yang pernah kami miliki. Saat itu, aku belum
paham apa yang sedang diajarkan Pak Bin. Namun, besok-lusa saat besar, aku
menjadi amat mengerti maksud metode mengajar Pak Bin, termasuk tentang
peraturan menulis karangan versi Pak Bin. (119)
2)
Motivator
“Bagus sekali, Gita. Jangan cemas, ini bukan soal
kecepatan. Sepanjang kalian bisa menemukannya itu lebih dari cukup.”
Kalimat Pak Bin membuat sebagian besar murid
menghembuskan napas lega. Ternyata tidak apa jika lama menemukannya. (hlm. 163)
k. Maya
1)
Cepat marah
“Aku ikut, Amel.” Maya berseru ketus. Wajahnya terlihat
sebal. “Awas saja kalau biang ribut itu berbohong. Aku timpuk dengan buku
tulis.” (hlm. 86)
“Astaga!” Maya menatap Tambusai melotot. “Kau bahkan
sekarang tidak tahu ini buah kopi, Tambusai? Kau dari planet mana hingga belum
pernah melihat buah kopi?”
“Eh, tentu saja aku tahu.” Tambusai menggaruk rambutnya,
nyengir. “Maksudku, aku belum pernah melihat buah kopi seperti ini. Besar dan
bagus.”
Aku tertawa kecil melihat dua teman baikku itu
bersitegang. Terlepas dari Maya itu memang suka marah, ia mulai sebal karena
sejak tadi Tambusai hanya sibuk bertanya. (hlm. 306)
2)
Tegas
“Kalau begitu, tidak usah main perahu. Sekali tidak boleh,
tetap tidak boleh.”
Sia-sia, tidak ada yang bisa melawan Maya. Dulu saja,
sebelum Chuck Norris insyaf, bertingkah di seluruh sekolah, satu-satunya yang
bisa melawannya adalah Maya. Geng perahu otok-otok berseru kecewa. (329)
l.
Tambusai
1)
Tidak cepat paham
“Kenapa tidak bisa? Semua orang melakukan hal itu, kan?”
Tambusai mengangkat bahu.
“Amel membutuhkan bibit terbaik.”
“Oi, bibit terbaik?”
“Kau sepertinya tidak memperhatikan penjelasan Amel dari
awal, Tambusai.”
Maya menepuk dahinya. Ia mulai gemas melihat ekspresi
Tambusai yang tetap tidak paham. (hlm. 305-306)
2)
Suka membantu teman
“Kau mau membantu atau tidak, tukang nanya?” Maya melotot
kepada Tambusai.
“Eh, aku pasti ikut membantu, Maya,” Tambusai nyengir
lebar. (hlm. 307)
m. Chuck Norris
1)
Biang ribut, susah diatur
Aku dan Maya saling toleh. Juga teman-teman yang lain.
Kalau ada salah-satu murid yang terpaksa meninggalkan ruangan kelas, maka
kegiatan mendikte harus dihentikan agar tidak ada yang tertinggal. Itu
kesepakatan yang diketahui seluruh murid sekolah. Hanya saja, ini kasusnya
adalah Chuck Norris. Ia sering kali membuat masalah, mengacaukan kelas. Boleh
jadi ia sedang berbohong, sengaja membuat kegiatan mendikte berhenti. (hlm. 85)
Maya menyikut lenganku, “Kau akan menolong si biang ribut
ini, Amel? Meminjaminya buku? Boleh jadi buku kau tidak pernah kembali.” (hlm.
89)
Aku mengangguk paham. Satu sekolah juga tahu, si Norris
ini adalah anak paling susah diatur, mau menang sendiri, dan sok berkuasa. Di
sekolah kami, piket selalu dilakukan setelah pulang sekolah, dua orang. Nasib
malang bagi Maya, teman semejaku itu, ia
dipasangkan dengan Chuck Norris. Ini masih mending si Norris mau
membantu piket pagi-pagi. Biasanya ia kabur, pergi bermain di lapangan. (hlm. 31)
2)
Tidak acuh
Ia melirikku sekilas. Melirik buku tulisku. Menyambarnya
dengan cepat. Sama sekali tidak merasa perlu bilang terima-kasih-mungkin di
planet asalnya si Norris memang tidak dikenal kalimat terima kasih. (hlm. 92)
“Aku tidak menghilangkannya, Amel. Aku hanya lupa.”
“Itu sama, Norris. Kau tidak bisa menghilangkan buku
catatanku.”
Chuck Norris tetap terlihat santai, mengangkat bahu,
“Berbeda, Amel. Kau, kan, seharusnya tahu, Nek Kiba pernah bilang, kalau kita
puasa, terus tidak sengaja makan siang lupa kalau sedang berpuasa memangnya jadi
batal puasanya. Batal tidak?” (hlm. 110)
3)
Bertanggung jawab
Itu justru kejutan besarnya. Norris membuka gulungan
kertas yang ia bawa, dibantu oleh bapaknya. Kejutan kedua yang kami saksikan di
pagi cerah itu. Gulungan itu ternyata peta dunia ukuran raksaa, lebih besar
dibanding yang rusak.
. . .
Norris amat berbakat melukis. Ia menggabungkan enam belas
karton putih, lantas tiga hari terakhir menghabiskan waktu di rumah, siang
malam berusaha menyelesaikannya peta dunia hebat itu dengan mencontoh yang ada
di buku besar. Ia menyesal. Ia berjanji akan berubah. Dan peta dunia itu
menjadi bukti janjinya. (hlm. 180)
4)
Suka membantu teman
. . . Apakah kalian juga mau membantuku?”
“Tentu saja, Amel.” Chuck Norris mengangguk mantap. (hlm.
307)
5. Gaya Bahasa
Gaya
bahasa yang pengarang gunakan dalam novel Amelia lugas dan ringan. Selain itu, Tere Liye sebagai penulis novel
ini juga menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif di dalam novel. Pembaca
dapat dengan mudah memahami isi novel tanpa harus membacanya berulang-ulang.
“Menjadi anak sulung misalnya, maka jelas kau harus
memikul tanggung jawab lebih besar. Pekerjaan yang lebih banyak. Bapak kira,
seharian ini misalnya, tugas Kak Eli jauh lebih banyak dibanding siapa pun,
bukan? Dan dia juga bertanggung jawab atas kalian. Siapa yang dimarahi pertama
kali kalau Burlian dan Pukat melanggar peraturan, selalu Kak Eli. Siapa yang
selalu disuruh mengurus, mejaga adik-adiknya, juga anak sulung.”
“Kak Eli tidak menjaga atau mengurus Amel.” Aku mendengus
sebal. Mana ada rumusnya menjaga atau mengurus dengan selalu memarahi.
“Itulah yang tidak kau pahami, Nak. Kak Eli tidak sedang
memarahi kau, Amel. Kak Eli justru sedang menunjukkan kasih-sayangnya,
menunjukkan rasa tanggung-jawabnya.” (hlm. 23)
“Paman, kalau penduduk kampung tetap bertani
begitu-begitu saja, mereka tidak aka pernah berhasil keluar dari keterbatasan
yang ada.” Aku berkata pelan. Lebih tepatnya, aku bicara sambil memikirkan
sesuatu. “Tetap tidak ada uang untuk sekolah. Anak-anka kampung terpaksa
bekerja di ladang, mencari rotan, mengambil rebung di hutan, menangkap ikan di
sungai. Kampung ini bertahun-tahun hanya akan seperti itu. Anak-anaknya,
cucu-cucunya tetap akan menjadi petani miskin.” (hlm. 194-195)
6. Sudut pandang
Sudut pandang di
dalam novel Amelia adalah orang
pertama pelaku utama
Halo
semua, kenalkan, namaku Amelia. (hlm. 1)
7. Amanat
Amanat yang
dapat dipetik dari novel Amelia karya Tere Liye adalah sebagai berikut.
a. Seorang anak sebaiknya
memiliki kesadaran untuk membantu pekerjaan rumah.
b. Orang tua sebaiknya dapat
memberikan contoh, pemahaman, dan kesempatan kepada anak untuk menyampaikan
pendapat.
c. Dalam bermasyarakat, seseorang
dapat saling membantu dan menghargai.
d. Seorang
guru sebaiknya dapat menjadi teladan, motivasi, dan mampu menciptakan suasana
kondusif dalam belajar.
C.
Sinopsis Novel Amelia
Karya Tere Liye
Novel Amelia
karya Tere Liye bercerita tentang anak bungsu bernama Amelia. Anak keempat dari
empat bersaudara. Kakak pertama, Eliana, kakak yang amat menyayangi
adik-adiknya. Sebagai pelindung disaat adik-adiknya dihina oleh orang lain,
kakak yang berani lantang mengatakan “Jangan hina adikku!!” pada orang dewasa
sekalipun. Kakak kedua, Pukat, kakak yang rajin mengolok-olok si bungsu bersama
adik laki-lakinya. Kakak yang pantang menyerah bereksperimen perahu otok-otok
miliknya dan senang sekali memukul lonceng sekolah. Selalu saja bisa menjawab
semua pertanyaan. Kakak ketiga, Burlian, ia teramat jahil dan tak pernah kapok
mengulangi kejahilannya itu. Ya, seperti yang dibilang tadi dia rajin mengolok-olok
si bungsu bersama Kak Pukat tentang menunggu
rumah. Amelia sangat sebal jika ia diolok sebagai penunggu rumah. Karena tradisi yang membuatnya selalu diledek
begitu. Terakhir, si bungsu Amelia, yang tak pernah berhenti bertanya jika ia
belum puas dengan jawabannya, gemar membaca buku apapun itu, menurutnya semua
buku itu menarik. Ia peduli akan sesama, bahkan peduli dengan orang yang telah
menghilangkan buku tulis miliknya dan senang bertengkar. Ia sangat sebal jika
diledek tentang penunggu rumah.
Namun,
guru mengaji mereka dan bahkan hampir seluruh masyarakat kampung pernah
berkata, “Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman”. “Singa
jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa. Kayu gaharu tak ubahnya
seperti kayu biasa jika didalam hutan“. Kiranya demikian guru mereka mengatakan.
Novel ini menceritakan bahwa anak – anak juga bisa
melakukan hal besar yang kadang atau bahkan kebanyakan dianggap remeh orang
dewasa. Anak bungsu juga bisa menjadi orang besar dan merantau ke negeri
seberang, bukan hanya diam ditempat.
Keempat anak luar biasa, anak dari Syahdan dan
Nurmas yang tinggal di Lembah Bukit Barisan. Dengan kriteria masing-masing,
mereka teramat sayang pada orang tua mereka. Terutama mamak yang melepas
kepergian anak-anaknya begitu tegar, sebab tak ingin anak-anaknya melihat ia
menangis. Namun, mamaklah yang justru menangis pilu teramat rindu pada
anak-anak yang dilepasnya.
Pengalaman dan pendidikan yang mereka dapat dari
sekolah, keluarga dan masyarakat sekalipun, sangatlah berharga untuk masa depan
mereka nantinya. Melakukan perjalanan panjang meninggalkan orangtua dengan
segenap harapan dan cita-cita. Membuktikan bahwa anak lembah juga berhak dan
layak menjadi anak emas, walau dengan segala keterbatasan. Kesabaran yang
begitu tulus dari guru lembah mereka satu-satunya, Pak Bin, selalu menjadi
penggoda Amelia untuk kembali. Tidak boleh ada keterbatasan di lembah ini.
Tidak ada. Anak-anak lembah berhak atas pendidikan terbaik dan penduduk lembah
juga berhak atas kehidupan yang lebih layak dan berkecukupan. Amelia kembali,
meneruskan usaha besar dua puluh tahun lalu.